“Fitrah ga’ tidur?”. “Ga’ Ustadzah, ga’ ngantuk”. Jawab salah satu siswa yang tidak mengikuti jejak temannya.
“Tidak mengapa,” pikir saya. Mungkin ia termasuk golongan yang sulit tidur di kendaraan atau merasa sayang melewatkan perjalanannya tanpa menikmati bangunan-bangunan dan pohon-pohon ‘berlarian’ di sisinya.
Dalam perjalanan pulang yang ‘sesunguhnya’, tak terelakkan lagi. Jasad anak-anak tangguh ini sudah menagih haknya untuk beristirahat. Dengan gaya dan posisi yang serupa tapi tak sama dalam segala keterbatasan tempat, satu demi satu, atau lebih tepatnya hampir segera setelah bus melaju -pada perjalanan pulang tahap kedua ini- dengan serta merta anak-anak ini pun mengejar laju bus dengan berlayar menuju samudera mimpi. Tak terkecuali ‘mister’ Fitrah.
Perjalanan ini adalah perjalanan pulang tahap ke dua di hari yang sama. Tahap pertama sebenarnya dilalui dengan biasa saja, sampai... Satu demi satu, meter demi meter, mungkin sampai lebih dari seratus meter berbaris puluhan kendaraan dari berbagai merk dan ukuran.
Sebelumnya tidak terlihat tanda-tanda keganjilan pada bus besar yang kami tumpangi. Namun, seiring terbenamnya matahari dan saat kami memutuskan untuk menunaikan kebutuhan ruhani, kami temukan bus kami tidak mau mematuhi tuannya lagi. Ia tidak mau menyejajarkan badan tegapnya di sisi Rumah Allah melainkan lebih memilih berpose di tengah jalan raya puncak yang tidak seberapa lebarnya jika dibandingkan dengan jalan protokol ibukota yang memiliki empat atau lima lajur.
Hari sudah mulai gelap, bus rombongan yang lain sudah akan melanjutkan perjalanannya. Namun nampaknya bus kami belum menunjukkan ‘kemajuan’.
“Tidak mungkin rasanya memindahkan 50 anak ke bus tetangga”, pikir saya. Akhirnya kami memutuskan untuk menunggu. Yap!, menunggu datangnya ‘keajaiban’, menunggu patuhnya bus kami pada sang nahkoda.
Faktanya, tidak cukup dengan berdoa agar bus kami segera 'insyaf' dan sadar akan tanggung jawabnya untuk mengantar kami pulang melainkan Allah meminta untuk mencurahkan konsentrasi kami pada hal lain. Agak tersentak saya teringat ‘Kaka’, salah satu siswa yang tidak dalam kondisi baik selama perjalanan itu. Di manakah ia gerangan?
Sejak awal keberangkatan panitia telah menyiapkan obat-obatan serta alat dan bahan yang dibutuhkan untuk memastikan kami semua dalam keadaan sehat dan nyaman selama perjalanan. Namun, tidaklah kita mengaku beriman sebelum diuji bukan?
Suhu yang semakin turun di kawasan itu rupanya semakin membuat Kaka –siswa yang saya cari tadi- perlu mencari perlindungan. Namun ternyata tidak. Ia hanya duduk di teras Masjid bersama teman-temannya.
“Di dalam aja Ka..”, seru saya. Ia pun masuk dan memilih tempat yang cukup terlindung dari tiupan angin nan penuh tenaga penurun suhu tubuh.
Dingin rupanya tidak hanya menggigit Kaka, Koko –yang berperawakan lebih besar dari Kaka- pun terlihat semakin membutuhkan tambahan peralatan penghangat dibanding saat kami masih berada di dalam bus ‘tercinta’. Koko memutuskan untuk mengambil tempat yang ‘ramah’ di bagian dalam Masjid dan menggulung tubuhnya.
Peralatan dan bahan pencegah ketidaknyamanan ternyata tidak cukup kami bawa. Termos atau alat penghangat lainnya tidak turut serta bersama kami.
“Di mana kira-kira ada warung tenda yang menyediakan minuman hangat ya?”. Sedikit terburu-buru saya melihat sekeliling. “Alhamdulillah” saya segera menujunya.
Dengan lalu lintas yang cukup ramai, agak sulit untuk bisa segera sampai di seberang. Segera setelah menemukan sang pemilik warung, saya memesan dua gelas –yang akhirnya dibungkus plastik- teh hangat untuk Kaka dan Koko. Syukurlah, kondisi mereka berdua sedikit membaik setelahnya.
Tak berapa lama, bus rombongan yang bersama kami di Masjid sudah akan berangkat. “Ada yang lihat Kaka?” saya bertanya pada siswa dan guru di atas bus tersebut. “Ga' ada Ustadzah,” jawab salah seorang dari mereka. Agak bingung saya kembali turun dan mencari keberadaan Kaka di antara teman-temannya. Dalam kondisi perut kosong dan tanpa kepastian, kami mengiringi kepergian bus itu dengan tatapan penuh doa dan harapan.
”Bagaimana Ustadz?”, tanya saya kepada seorang guru yang masih tinggal bersama kami. “Kita ke rumah teman saya dekat sini, di belakang pasar,” jawabnya. Sambil bertanya-tanya, saya segera mengajak para siswa untuk mengikuti seorang Bapak yang rupanya juga berada di Masjid yang sama tempat kami 'bernaung' selama ini. Ia menjunjukkan jalan bersama seorang anak laki-laki berusia sekitar 9 tahun.
Sang Ustadz sepertinya menuju bus, sedangkan saya mampir sebentar untuk membeli sesuatu.
Setibanya saya -setelah tengok kiri kanan mencari jejak dan bertemu Sang Tuan Rumah- di tempat tinggal yang dimaksud, saya menemukan para siswa -yang dalam kondisi lelah, lapar, dan mengantuk- masih dalam posisi menunggu. Betul, mereka, siswa angkatan 5 dan sebagian angkatan 4 SMART EI -dengan ketegaran dan kesabarannya- masih menunggu... menunggu kabar baik dari Ustadznya. Namun, kali ini ada hal lain yang ditunggu..
Malam semakin larut dan waktu sudah menunjukkan pukul sembilan lewat..
Alhamdulillah.. setelah sebelumnya perut anak-anak dihangatkan dengan bandrek (minuman jahe khas Jawa Barat, juga dengan rasa yang khas), datanglah hidangan yang insya Allah mampu mengisi perut kami dengan lebih 'serius'. Mie instan hangat lengkap dengan nasi dan saus sambalnya.. “ Srluup... sruulp...” Rasa dingin yang telah berkurang dengan posisi duduk yang rapat -karena keterbatasan tempat- semakin memudar. Subhanallah.. Sesungguhnya sesudah kesulitan ada kemudahan.. Terima kasih Bapak dan Ibu.. (Oya, juga rekan kecil..) Semoga Allah membalas kebaikan kalian..
Sekitar lima puluh orang berjalan melewati jalan becek dan menelusuri gang sempit khas pasar tradisional. Langkah kami rasanya sudah sangat mantap. Mantap untuk bertemu 'Sang Penyelamat Besar'. Tap. tap.. tap..
“Sssstt.., jangan bilang siapa-siapa ya... Ini rahasia..!” Sebenarnya, sebelum mangkuk demi mangkuk mie dan bakul demi bakul nasi dihidangkan, sang Ustadz sudah memberi tahu saya bahwa bus 'penyelamat' telah datang. Namun ia berpesan untuk menahan informasi tersebut agar tidak merusak konsentrasi para siswa dalam makan dan penantiannya. : )
Sesampainya di bus.. “Alhamdulillah...” sepertinya tak ada kata lain. Karena tak lama setelah itu (kembali saya sampaikan), satu persatu -atau bahkan serentak- Koko, Anto, Dika, Diki, Dana, Raya, Sholeh, Yovi, Fikri, Fadla, Razi, Rano dan teman-teman -bahkan Fitrah pun tak ketinggalan- mengambil posisi siap untuk berlayar di samudera mimpi. Dengan gaya yang serupa tapi tak sama -dengan segala keterbatasan tempat- mereka berusaha meneguhkan diri bahwa mereka telah berhasil hari ini..
Outbond 'Hijau' kali ini telah dilalui dengan teriakan, keseruan, kekompakan, curahan tenaga serta kesatuan strategi seluruh siswa SMART Ekselensia Indonesia angkatan 1 sampai 5. Mulai dari ber' MEREKETE' ria, mengangkat tongkat panjang, terjebak dalam ikatan tangan-tangan sendiri, berusaha untuk 'Stand Up Together, menunjukkan pengorbanan dalam 'Folding Mat', tersangkut dalam 'Spider Web', tersesat di rimba 'Flying Fox', sampai perang strategi dalam operasi pengamanan api lilin -dari serbuan senjata air lars panjang kakak-kakak instruktur- untuk menyalakan api unggun di tanah lapang.
“Jadilah seperti RAJAWALI.. terbang mengangkasa menggapai mimpi dalam kekuatan perjuangan penuh kebersamaan.” pesan sang Kakak
(catatan: tokoh-tokoh dalam kisah ini nyata adanya namun menggunakan nama pinjaman)
“Oya, ngomong-ngomong, Kaka di mana ya..?”
Bogor, 12-13 April 2010
Ditulis untuk rubric CINTA (Cerita Sekitar Kita) majalah Pancaran (angk. V SMART EI)